OKEMOM – “Saya juga heran kenapa nilai saya paling tinggi di kelas. Padahal saya nggak pernah terlalu serius kalau belajar”
“Aduh, rasanya ini liburan paling melelahkan yang pernah dijalani. Biasa saja sih, tapi lumayan bisa ngerasain keliling Eropa.”
“Jadi sebenarnya nggak suka pakai iPhone. Soalnya cuma saya sendiri yang beli ini. Orang-orang sering ngelihatin aneh gitu.”
Mom, pasti pernah ya beberapa kali mendengar orang di sekitar mengucapkan kata-kata sejenis itu. Sering membuat bingung, mereka sebenarnya bicara apa adanya atau justru tersimpan keinginan untuk dipuji karena kerendahan hati mereka.
Disadari atau tidak, model berbicara seperti itu disebut humble bragging. Apa itu humble bragging? Dilihat dari artinya, ini semacam ingin menyombongkan diri tetapi berpura-pura rendah hati. Bisa dibilang, pamer yang terselubung.
Menurut Harappa Education, seseorang yang sering melakukan humble bragging cenderung melontarkan kalimat keluhan. Lalu, menjabarkan kesulitan yang dirasakan orang banyak seolah merasakan hal sama. Padahal, itu semua hanyalah bualan semata.
Mereka mempromosikan kelebihan diri sendiri di balik keluhan itu. Tujuannya, tentu agar mendapat pengakuan dan pujian dari orang lain. Dengan begitu, memperkuat reputasi diri di mata publik.
Dari kacamata psikologi, konsep membual yang rendah hati didasari pada kebutuhan untuk merasa dihargai dan dianggap penting. Cara presentasi diri secara tersirat seperti itu tidak hanya menimbulkan rasa simpati tetapi juga mengesankan orang lain.
Mengapa humble bragging memberi dampak buruk?
Masyarakat Indonesia sendiri sering menyebutnya dengan istilah ‘merendah untuk meroket’. Beberapa orang mungkin memang berkeinginan untuk mendapat pengakuan. Namun, sebagian lainnya mengaku untuk melatih diri supaya tidak meninggi.
Bila memang tujuannya demikian, tentu boleh-boleh saja. Lalu, bagaimana jika ternyata itu justru memanipulasi orang lain tentang karakteristik diri yang sesungguhnya? Secara psikologi, ini bisa memberi dampak buruk, apalagi bila dilakukan di media sosial.
Disembunyikan bagaimana pun, orang-orang perlahan mulai tahu sifat asli kita. Jika ternyata tak sesuai ekspektasi, bahkan berbanding terbalik dan memiliki nilai negatif, sudah pasti orang lain akan illfeel. Mulai dari tidak respect hingga menjauh perlahan.
Dalam lingkungan sosial, pertemanan maupun tempat kerja, menjadi orang yang humble bragging ini mudah menciptakan kesan baik. Namun, mudah pula menghilangkan kesan baik tersebut. Kalau sudah begitu, hubungan interpersonal akan bermasalah.
Oleh karena itu, pertimbangkan kembali ketika ingin mengatakan sesuatu. Akan lebih baik sampaikan apa yang sebenarnya. Hindari membanggakan diri sendiri terlalu berlebihan karena orang lain tak menyukainya.
Sebagai saran, kenali siapa lawan bicara. Sebagian orang menganggap pamer yang rendah hati itu mengganggu secara emosional. Jika percakapan membuat seseorang kurang nyaman, sebaiknya ubah nada bicara dan segera akhiri percakapan dengan cara baik-baik.
Bila memang ingin menyampaikan tentang pencapaian diri, sebaiknya belajar cara berkomunikasi dengan jelas. Gunakan kalimat personal branding yang baik, sopan, dapat diterima, tulus, serta tidak menggurui dan merendahkan.
Perhatikan pula timing, kapan harus terlihat hebat dan vokal. Kapan pula harus berbicara tentang hidup pribadi dan kapan harus mencukupi diri sebagai pendengar.
Apabila ada yang memuji, cukup katakan dengan bijaksana. Misalnya, “terima kasih ya atas penghargaannya. Semoga bisa berkarya lebih baik lagi”. Sejatinya, setiap orang memiliki kelebihan dan berhak mendapatkan apresiasi tanpa perlu berpura-pura.
Referensi:
Harappa Education. How To Avoid humble bragging At Work. 2021.
ARTIKEL MENARIK LAINNYA
- Alasan Seseorang Terikat dan Menangis saat Nonton Film Menurut Psikologi
- Studi Psikologi: Dominasi Sosial Memengaruhi Gejala Kesehatan Mental
- Studi Psikologi: Makeup Memengaruhi Mental dan Moral Perempuan
- Seberapa Penting Self Reward untuk Setiap Pencapaian Diri Sendiri?
- 5 Risiko Masalah Psikologis pada Anak Akibat Toxic Parenting