OKEMOM – Sebuah barang terkadang memiliki unsur nostalgia yang berkaitan dengan momen tak terlupakan seseorang. Tak heran jika kemudian benda tersebut disimpan bahkan bertahun-tahun. Awas hoarding disorder, Mom.
Menyimpan benda-benda kesayangan atau yang memiliki banyak kenangan memang bukan hal aneh. Apalagi jika barang-barang tersebut milik atau dari seseorang yang kita kasihi. Karenanya, meski rusak pun tetap enggan membuangnya.
Selagi koleksi tidak merepotkan diri sendiri sih tidak jadi soal. Namun, kalau sudah menimbun barang berlebihan hti-hati gejala hoarding disorder. Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang punya kebiasaan menimbun barang tak terpakai dengan anggapan bahwa barang dapat berguna di masa mendatang.
Padahal, barang tersebut cenderung tidak memiliki nilai atau kenangan apapun. Sebelum mendiagnosis diri sendiri, cara tahu yuk penyebab dan gejala penyakit ini supaya bisa lakukan pencegahan.
Penyebab hoarding disorder
Bagi para kolektor, ada standar tertentu ketika mengumpulkan barang yakni benda harus sarat akan makna atau kenangan. Namun, berbeda dengan pengidap kelainan ini, semua barang dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan sampai penuh. Rasa takut muncul ketika ingin membuang salah satu item.
Penyebabnya sendiri biasa karenatrauma, misalnya kehilangan orang terdekat, kelainan fungsi otak hingga faktor turunan. Kebiasaan ibu yang juga mengalami hal serupa berpengaruh pada kebiasaan anak.
Melansir dari American Psychiatric Association, Sabtu (29/1), 2 hingga 6 persen populasi dunia memiliki gangguan hoardng disorder. Kelainan ini rentan terjadi pada masalah ini biasanya 55 tahun ke atas.
Barang yang ditimbun
Barang yang ditimbun kebanyakan adalah benda kesayangan misalkan pakaian, tas, boneka atau benda lainnya yang memiliki nilai kenangan. Namun, benda seperti di bawah ini termasuk jadi barang yang disimpan:
- Koran
- Barang bekas
- Peralatan dapur
- Perkakas rumah
- Furnitur
Selain itu, di tengah kecanggihan teknologi, orang yang enggan menghapus pesan di surat elektronik, surel, unggahan media sosial, maupun pesan singkat bisa mengindikasikan gejala awal hoarding disorder lho, Mom.
Gejala hoarding disorder
Setiap orang punya gejala awal yang berbeda-beda, tetapi umumnya, gejala seperti di bawah ini paling sering muncul. Tanda ini pun terus berkembang secara bertahap seiring bertambahnya usia.
- Kesulitan membuang barang
- Merasa cemas ketika orang lain memegang benda kesayangan
- Bertindak obsesif
- Bingung meletakan benda di suatu tempat
- Membeli barang dalam jumlah yang banyak
- Sulit mengambil keputusan
- Tempramental
Cara mengatasi masalah penumpukan
Mengatasi hoarding disorder bisa dengan cognitive behavior therapy (CBT). Tujuannya yaitu untuk mengurangi kebiasaan menumpuk. Mom akan menjalani terapi dari hal sederhana seperti memisahkan barang mana yang berguna dan yang tidak, merapikan barang dan membuang barang yang tak berguna secara perlahan.
Selain mengatur penempatan, relaksasi dilakukan untuk menenangkan kondisi psikologis. Pada sebagian penderita, hoarding disorder berkaitan erat dengan masalah psikologis seperti OCD, ADHD, dan depresi.
Dampak jangka panjang
Kebiasaan menumpuk tidak hanya berdampak pada pengidap melainkan pada anggota keluarga. Penumpukan barang secara ekstrem membuat rumah terasa sempit dan sesak. Hal ini sangat berbahaya bagi pasangan yang memiliki bayi. Si kecil bisa terluka sebab barang yang berserakan.
Jika dibiarkan, hubungan keluarga jadi tidak harmonis lantaran muncul beragam permasalahan. Belum lagi krisis keuangan yang timbul akibat terus membeli barang. Kasus, suami istri memilih berpisah karena satu pasangan mengidap gangguan penumpukan.
OKEMOM, itulah ringkasan seputar hoarding disorder yang perlu Mom ketahui. Jika gejala di atas semakin parah jangan tunda lagi melakukan konsultasi dengan psikolog demi meminimalisir risiko komplikasi di kemudian hari.
Artikel ini sudah ditinjau oleh Ikhsan Bella Persada M.Psi